Prof Ambar: Tempe Dari Bahan Baku Kertas Tidak Layak Konsumsi
YOGYAKARTA – Saat harga kedelai melambung tinggi, produsen tempe bisa mencampur bahan baku lauk nabati dari bahan baku kedelai seperti jagung atau bahan sejenis lainnya. Pencampuran bahan pangan ini masih bisa ditolerir, meskipun produk tempenya berkualitas rendah.
Persoalan serius muncul ketika oknum produsen tempe mencampurkan bahan baku kedelei dengan kertas HVS dan kardus bekas. Kasus demikian sempat terjadi di suatu daerah di wilayah Jawa Barat.
Tim Buser Investigasi televisi swasta nasional mendokumentasikan dan menayangkan kejadian tersebut awal Maret 2022. Produsen tempe menjelaskan, kertas HVS bekas dijadikan bubur kertas untuk dicampur dengan kedelai. Bubur kertas tersamar oleh jamur hasil fermentasi dari ragi tempe. “Ini cara saya tetap bisa memproduksi tempe pada waktu harga kedelai mahal,” kata produsen saat itu.
Ahli Teknologi Pangan dan Gizi Universitas Widya Mataram (UWM) Prof. Dr. Ir. Ambar Rukmini, MP menaruh perhatian terhadap kasus tersebut. Kata Prof Ambar, kiat oknum produsen tempe itu masuk kategori inovasi. Caranya mengurangi volume bahan baku kedelai, kemudian menggenapi dengan bubur kertas bekas.
Ditambahkan Prof. Ambar, konsumen sedikit sulit untuk mengecek tempe yang dibeli terdapat campuran bahan baku kertas atau tidak karena bubur kertas telah lebur dengan kedelai. Kertas bisa diketahui ketika konsumen memakan tempe yang sudah dimasak.
“Jika tempe dengan bahan baku campuran kertas itu dimakan, tentu saja ada bagian yang tidak dapat dikunyah hingga lembut, yang berasal dari kertas tersebut. Apakah setiap konsumen bisa merasakan itu? Itu hanya bisa dideteksi oleh lidah konsumen yang cermat,” ungkap Prog Ambar, Kamis (24/03/2022).
Peraih doktor dari Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menjelaskan, kertas maupun karton terbuat dari pulp (serat kayu), diproses ulang menjadi bubur kertas mengalami bleaching (pemucatan) menggunakan bantuan larutan Hidrogen Peroksida (H2O2). Kemudian, ditambah pewarnaan dan pencetakan.
Unsur H2O2 ini menjadi larutan yang bisa membahayakan kesehatan orang yang mengkonsumsi tempe berbahan baku campuran kertas atau karton.
“Hidrogen Peroksida merupakan bahan kimia yang berbahaya jika masuk sistem pencernaan, bisa menyebabkan iritasi atau tukak lambung yang disertai gejala mual, muntah, atau bahkan muntah darah,” paparnya
Terkait dengan kedelai lokal, lanjut Prof. Ambar, produsen tempe memilih alasan kuat mengapa kedelai impor sebagai bahan bakunya, karena produk dari negara lain itu lebih mengembang dari kedelai lokal. Setiap kedelai impor bisa mengembang menjadi 1,6 – 1,8 kilogram. Sedangkan kedelai lokal hanya mencapai 1,4 – 1,5 kilogram.
Sekarang ini, para produsen seharusnya sudah saatnya melirik kedelai lokal sebagai bahan baku tempe, karena ahli pangan nasional telah menemukan kedelai unggulan. Tim Peneliti Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM sukses mengembangkan Smart Agricultural Enterprise (SAE) untuk kedelai lokal berbasis penerapan IPTEK.
Prof Ambar yang juga Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) ini menyatakan, budidaya kedelai program SAE, per hektar mampu menghasilkan 3,2 – 4,2 ton, sementara budidaya konvensional, satu hektar lahan menghasilkan 1,4 – 2,3 ton kedelai.
“Ini bisa dimaknai, ketersediaan kedelai lokal menjadi meningkat tajam dan mampu menekan keberadaan kedelai impor. Maka petani perlu mengalihkan bahan baku kedelai impor ke kedelai lokal,” pungkasnya.(*)