Dekan UWM Yogyakarta: Pernikahan Ketua MK dan Adik Jokowi Potensial Picu Konflik Kepentingan
YOGYAKARTA – Rencana Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menikah dengan Idayati, adik Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Solo pada 26 Mei 2022 dikhawatirkan berdampak pada pelayanan hukum dalam lembaga judicial review undang-undang tersebut. Kekhawatiran tersebut diungkapkan Pengamat Politik Universitas Widya Mataram (UWM) Dr. As Martadani Noor, MA. Menurutnya, dirinya khawatir bakal terjadi konflik kepentingan yang mencuat berkaitan dengan wacana Presiden Jokowi menunda pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Peraih Doktor Sosiologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) ini berpendapat, sebainya Anwar Usman ancang-ancang mundur dari jabatan ketua MK untuk menjaga marwah lembaga penguji undang-undang tersebut.
Ditambahkan, Dr. As Martadani yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik UWM ini menyatakan, hubungan keluarga dalam sistem kekeluargaan di Indonesia berpengaruh besar terhadap proses suksesi dalam jabatan struktural maupun jabatan politik.
Ia menggambarkan kasus pemilihan kepala daerah (Pilkada), para pengganti pejabat bupati/wali kota dari kalangan keluarga dekat.
“Pengaruh politik politik keluarga itu di Indonesia cukup besar. Kita bisa melihat dari fenomena di pemerintahan. Bupati itu penggantinya melewati proses pilkada langsung, mereka itu ada istri atau anak dari bupati petahana, keponakanya, dan seterusnya. Di partai juga begitukan? Kita lihat di partai-partai besar, tokoh-tokoh atau pejabat partai penting itu ada kaitannya dengan keluarga. Ini bisa ditegaskan, betapa besarnya fungsi keluarga itu masuk di dalam politik,” jelas Dr. As Martadani, Jumat (25/03/2022).
Peraih Master dari Andhara University ini menganalisis, keluarga di Indonesia memiliki fungsi memelihara, memproteksi baik aspek ekonomi, afeksi atau kasih sayang, maupun aspek sosial dan politik. Kondisi demikian berlaku di manapun. Yang menjadi masalah, ketika fungsi keluarga sebagai proteksi aspek hukum, politik, yang bersifat primordialistik itu memiliki kekuatan pengaruh yang dahsyat, melebihi pengaruh hubungan personalitas terhadap restrukturasasi jabatan publik dan kepentingan politik.
Di dalam hubungan keluarga dalam konteks apapun bisa mendatangkan aspek memaksa secara disadari atau tidak disadari untuk kepentingan tertentu.
“Dalam konteks hubungan keluarga, setiap orang bahkan sulit menghindari dari aspek memaksanya ini, aspek peniruan dan adaptasi dalam hal proteksi terkait aspek hukum, politik dan ekonomi karena kita melihat dalam kenyataannya masih prihatin ada sisi proteksi yang bersifat premodialistik,” katanya.
Dengan alasan teoretis demikian, alumni Fisipol UWM Tahun 1991 ini menyatakan, Anwar Usman sangat bijak untuk menghindari potensi konflik kepentingan dalam memimpin MK, dengan cara mundur dari jabatan ketua dimaksud.
“Saya berpendapat dengan pertimbangan teori seperti itu, untuk menjaga marwah MK, membangun kepercayaan kepada masyarakat terhadap MK, sebaiknya ya beliau mundur dari ketua MK. kalau tidak, posisinya ada potensi besar disalahgunakan, yang justru menurunkan kepercayaan masyarakat, menurunkan wibawa atau marwah ketua MK,” kritiknya.
Bagi Dr. As Martadani, publik bisa saja berprasangka pernikahan ketua MK berkaitan dengan jabatannya dan dikaitkan dengan wacara penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Prasangka itu sangat wajar karena posisi Anwar Usman sangat strategis berkaitan masalah penundaan pemilu masuk dalam wilayah sengketa hukum, selain masalah politik kekuasaan, maka MK memiliki peran menciptakan hukum bila terdapat judicial review undang-undang paket politik.
“Jika penundaan pemilu itu masuk dalam sengketa hukum nantinya ya tentu MK akan berpengaruh sebagaimana yang saya katakan tadi, meskipun saya tidak melihat ini sebagai by desain, pernikahan ketua MK itu lebih sebagai sebuah kebetulan yang berpotensi punya pengaruh besar di MK. Jangankan memiliki pengaruh keluarga, tidak memiliki pengaruh keluarga pun masyarakat juga punya pandangan yang beragam. Ingat sebagian keputusan MK itu kan juga diragukan oleh publik terkait dengan sengketa-sengketa politik yang masuk dalam penyelesaian hukum,” paparnya.
Akhirnya, jika benar ini terjadi (pernikahan) yang dimaskud, bisa saja MK dijadikan kartu penyelamat.
“Jika benar begitu, keputusan penundaan pemilu masuk di dalam sengketa hukum dan tentu berdampak dalam kerja MK dalam berkaitan wacana penundaan pemilu,” tutup Dr. As Martadani.(*)