Rektor UWM Yogyakarta: Mudik dan Pasar Semarak, Indikasi Pertumbuhan Ekonomi Meningkat?
YOGYAKARTA – Arus mudik, kegiatan pasar, sektor pariwisata, dan perhotelan selama Ramadan dan Lebaran 1443 Hijriyah/2022 Masehi sangat semarak.
“Apakah ini bisa dibaca sebagai indikator kebangkitan ekonomi nasional 2022,” kata Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, dalam pidato Iftitah Syawalan 1443 Hijriyah di Kampus UWM Yogyakarta, Senin (09/05/2022).
Prof Edy Suandi menyatakan, arus mudik menimbulkan kemacetan di berbagai tempat. Baik di jalanan menuju kampung tujuan maupun kawasan pariwisata.
“Lokasi pariwisata sesak oleh kehadiran pengunjung dan hotel-hotel di Yogyakarta penuh dengan orang menginap. Situasi demikian tidak terjadi dalam lebaran dua tahun terakhir, antara tahun 2020-2021,” ujar Prof Edy Suandi.
Ia mengaitkan dinamika selama Ramadan dan Labaran tersebut berkaitan dengan indikator pertumbuhan ekonomi nasional. Selama 2020, pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 tahun pertama hanya tumbuh 2,07 persen. Kemudian tahun ke dua pandemi, tepatnya tahun 2021, ekonomi nasional hanya tumbuh 3,69 persen.
Dengan geliat pasar di berbagai daerah yang meningkat kegiatannya selama Ramadan dan lebaran, bersamaan pariwisata penuh sesak oleh pengunjung dan hotel-hotel dipenuhi para tamu-tamu dari luar kota, diperkuat lagi oleh tingkat konsumsi yang naik dalam setahun berjalan.
“Apakah suasana peningkatan kegiatan dan transaksi ekonomi di pasar modern maupin tradisional selama Ramadan, mudik, dan Lebaran bisa dijadikan indikator kebangkitan ekonom atau indikator, pertumbuhan ekonomi nasional naik? Kita berharap semarak mudik dan berbagai kegiatan ekonomi di sektor pariwisata dan perhotelan menjadi indikator positif pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2022 bisa mencapai 5 persen,” tukasnya.
Berkaitan dengan Hikmah Syawalan, Prof Edy Suandi mengatakan, Syawal harus menjadi momentum meningkatkan kolaborasi. Dalam mengelola universitas, kerja kolektif menjadi model. Tidak ada satu pun dari pimpinan, dosen, tenaga kependidikan yang merasa paling hebat, paling kuat.
“Perguruan tinggi bisa maju bila pengelolaannya didasari semangat kerja sama, tolong menolong,” tegasnya.
Tak Mengajarkan Miskin
Prof Dr Muhammad, M.Ag dalam tausyiah Syawalan menyatakan, stigma negatif yang diterapkan kepada Islam menyangkut ajaran kemiskinan.
“Saya mendapat ajaran pada masa lalu, Islam itu agama yang mengajarkan para umatnya boleh miskin harta. Itu kesan yang diciptakan orang lain untuk menandakan ajaran Islam negatif,” kata Prof Muhammad.
Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (SUKA) Yogyakarta ini menyatakan, Islam sangat dekat dengan urusan ekonomi. Dalam praktik rukun Islam, muallaf yang mengucapkan syahadat perlu modal minimal materi (Rp 10 ribu), salat perlu modal ekonomi untuk membeli pakaian, perlengkapan salat, zakat dan haji memerlukan modal uang relatif besar.
Maknanya, Islam tidak menjauhkan dengan urusan ekonomi, sebaliknya Islam mendorong umatnya peduli untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan menggunakannya sesuai dengan ketentuan agamanya. Kemudian, Islam mengajarkan pentingnya inovasi tiada henti agar umat Islam makin di depan dalam berbagai sektor.
“Apabila ini dilaksanakan, kita bisa membangun kebersamaan dan meraih keberkahan atau kebaikan-kebaikan,” tegasnya.(*)