Yogyakarta Memerlukan Lebih Banyak Ruang Aktualisasi Remaja

0

Kejahatan jalanan harus dihilangkan dan menuntut peran semua pihak.

YOGYAKARTA – Kekerasan oleh oknum remaja dan pelajar tidak merepresentasikan keadaan Yogyakarta yang sebenarnya. Tingkat kejahatan jalanan oleh anak sebaya di kota lain lebih tinggi intensitasnya dan lebih mengkhawatirkan.

Yang diperlukan dari Yogyakarta, adalah meyakinkan tetap lebih layak sebagai kota pelajar dari daerah lain. Karena daerah istimewa ini lebih aman dan lebih layak sebagai sentral pendidikan.

Dosen Sosiologi Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Puji Qomariyah, S.Sos, M.Si menyatakan, Yogyakarta bisa meyakinkan tetap menjadi kota paling layak untuk belajar dengan mengembalikan suasana sebelum pandemi. Puji berbicara dalam diskusi publik bertema “Yogyakarta Kota Pelajar: Merumuskan Solusi Kejahatan Jalanan Remaja” yang diselenggarakan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V Yogyakarta, Senin (18/04/2022).

Wakil Rektor III UWM Yogyakarta ini melanjutkan, jalan meyakinkan kota paling layak untuk belajar dengan membuka lebih banyak lagi ruang publik gratis yang menjadi arena warga. Termasuk para remaja, berekspresi secara proporsional.

Sebagai kota budaya yang ditaburi banyak talenta seni budaya, lanjut Puji, pembukaan ruang publik itu disertai dengan memperbanyak ruang lindung budaya dengan membuka panggung kreativitas dan ekspresi seni budaya.

“Saya membaca Yogyakarta darurat atau rindu panggung terbuka untuk publik seperti situasi sebelum masa pandemi. Kalau ruang publik dan panggung budaya hidup dan menyebar di mana-mana, ini membantu tata ruang Yogyakarta bisa kembali nyaman, bukan berhenti nyaman seperti pandangan dan kritik warga belakangan ini,” paparnya.

Kepala Sub Direktorat Babinkantibmas Polda DIY AKBP Sinungwati, S.H., M.H, menyatakan, satu kasus kekerasan remaja di jalanan tidak bisa mewakili untuk menyimpulkan bahwa Yogyakarta tidak nyaman lagi sebagai kota pelajar. Menurutnya, berbicara angka kejahatan Yogyakarta lebih rendah dari kota-kota besar lain di Indonesia. Karena kasus kejahatan mendapat perhatian besar masyarakat, kejadian tersebut seolah-olah melegitimasi situasi yang sebenarnya di Yogyakarta.

“Yogyakarta masih lebih aman untuk pelajar dan mahasiswa dibanding kota besar lain di manapun di Indonesia,” ungkap AKBP Sinungwati.

Namun berapapun kasus kejahatan remaja di jalanan, itu menjadi kontraproduktif dalam konteks citra Yogyakarta sebagai kota pelajar.

“Kita jadikan kejahatan jalanan oleh remaja dan warga lainnya layaknya Covid-19, yang menjadi musuh bersama masyarakat atau dikeroyok semua pihak untuk menciptakan situasi makin aman dan nyaman,” ajaknya.

Berkaitan langkah preventif, AKBP Sinungwati meyakinkan, Kepolisian DI Yogyakarta telah menjalankan program penangkalan, pencegahan, dengan mendekati secara tertutup ketua-ketua dan anggota geng sekolah dan melakukan penegakan hukum bagi mereka yang melakukan tindak pidana.

Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Daerah Istimewa Yogyakarta Endang Patmintarsih, S.H., M.Si, mengatakan, keluarga menjadi pangkal terjadinya kejahatan remaja di jalanan.

“Hasil riset kami terhadap remaja yang dititipkan oleh penegak hukum maupun hasil operasi Dinas Sosial sendiri, 98 persen remaja bermasalah di jalanan atau di luar rumah akar persoalan mereka dari keluarga,” jelas Endang.

Ia mencontohkan, masalah anak dan remaja diasuh oleh kakek-nenek. Sementara orangtua bekerja di luar kota. Orangtua tidak memiliki alokasi waktu untuk mengasuh dan dekat dengan anak, faktor sosial, dan ekonomi dalam keluarga, serta faktor lingkungan. Yang paling dominan faktor keluarga.

Kemudian, lanjut Endang, sikap orangtua para anak dan remaja sering tidak jujur ketika petugas terkait atau orang lain memberitahu anaknya bermasalah.

“Orangtua sering tidak jujur dengan kondisi anaknya. Ketidakjujuran mereka akhirnya dibayar mahal ketika anak mereka terlibat kejahatan tertentu, diketahui publik, saat itu mereka baru mengaku anaknya bermasalah. Tetapi banyak yang mengaku anaknya bermasalah dalam kejahatan, kemudian menolak anak mereka dikembalikan ke rumah,” tukasnya.

Dosen Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta Jatu Anggraeni, S.Psi., M.Psi., Psikolog, mengamini pandangan Endang. Menurut Jatu,  keluarga yang membentuk superego anak, sehingga bisa membuat anak yang memiliki strategi coping yang baik, menjadi produktif, dan dapat berkontribusi kepada masyarakat. “Keluarga pula yang membentuk kondisi anak tidak produktif dan tidak berkontribusi positif di masyarakat,” ujarnya.

Kepala LLDIKTI Wilayah V DIY, Prof. drh. Aris Junaidi, Ph.D menyatakan, citra Yogyakarta sebagai kota pelajar sangat ditentukan oleh kondisi sosial masyarakatnya. Kalau terdapat kasus kecil yang mengancam fisik maupun jiwa warga, kejadiannya menggema di seluruh Yogyakarta, bahkan di seluruh Indonesia. Terdapat tantangan untuk meyakinkan Yogyakarta tetap aman untuk pelajar.

Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., Ketua Aptisi Wilayah V Yogyakarta menyatakan, kejahatan jalanan remaja tersebut merupakan permasalahan yang serius dan Aptisi sebagai perwakilan institusi pendidikan tinggi di Yogyakarta berupaya mendorong solusi yang operatif yang bisa dijalankan oleh berbagai aktor.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *