Penundaan Pemilu Munculkan Kontraksi Sosial, Ekonomi, dan Politik

0

Rektor UWM Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec saat menjadi keynote speech.

YOGYAKARTA – Gagasan menunda pemilihan umum (Pemilu) 2024 tidak memiliki dasar konstitusi dan efeknya lebih besar dari segi ekonomi politik. Kerugian yang paling mendasar mengamini gagasan tersebut adalah memicu krisis politik atau kontraksi sosial, ekonomi, politik, alias konflik besar. Ujungnya, hasil penundaan tidak bisa mencerminkan jaminan kelangsungan ekonomi lebih baik. Sebaliknya, justru dampaknya yang negatif bisa lebih besar.

“Bila alasan ekonomi yang sedang tidak baik akibat pandemi Covid-19, itu tidak relevan. Selain kondisi ekonomi nasional yang terus membaik, penundaan pemilu tidak ada relevansi dengan keberlanjutan pemulihan ekonomi  pembangunan,” kata Pakar Politik Universitas Widya Mataram (UWM) Dr. AS Martadani Noor saat mengisi seminar secara daring bertema “Pro-Kontra Penundaan Pemilu, Siapa Diuntungkan?”, Kamis (17/03/2022).

Webinar tersebut diselenggarakan atas kerja sama antara UWM dan Universitas Muhammadiyah (UM) Metro yang dilaksanakan secara daring dari kampus masing-masing. Webinar merupakan tindaklanjut dari kesepakatan kerja sama dua pihak awal Februari 2022. Pembicara lain yang ikut menyampaikan sambutan adalah Rektor UM Metro Jazim Ahmad, M.Pd dan keynote speech Rektor UWM Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec.

AS Martadani Noor meneruskan, ketika sebagian pemimpin dan kelompok tertentu yang berkepentingan dengan lingkaran kekuasaan saat ini memaksakan kehendak menunda pemilu, yang muncul bukan stabilitas ekonomi, melainkan distabilitas politik atau kontraksi politik. “Ketika kontraksi politik terjadi, apakah kekuasaan status quo bisa menjamin kelangsungan ekonomi atau sebaliknya ekonomi memburuk sebagai akibat kontraksi politik,” ujar AS Martadani Noor yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) UMW Yogyakarta ini.

Menurutnya, penundaan pesta demokrasi menunjukkan para penggagas dan pendukungya tidak memiliki harapan dan kesiapan berkompetisi politik yang baik dan sehat, baik pemilihan legislative maupun eksekutif atau presiden.

“Saya melihat mengapa ada gagasan menunda pemilu, itu ada ambiguitas kekuatan oligarkhi dalam lingkaran kekuasaan dan kekuatan ekonomi yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap kekuasan saat ini,” kritiknya.

Perilaku semacam itu tidak baik bagi pendewasaan demikrasi. “Kalau mereka memaksakan pemilu ditunda itu mencerminkan level ketaatan konstitsi sangat rendah. Mereka bisa dikatakan juga sebagai elit politik dan pendukungnya sebagai petualangdan bandit politik,” tegas AS Martadani Noor.

Ia menegaskan, pentingnya Indonesia dalam rezim siapapun yang memimpin harus menghindari kontraksi politik yang didasari alasan tidak konstitusional. Sebaliknya, budaya memelihara keberlanjutan dan kultur politik demokrasi harus diutamakan. “Itu bagian dari sistem konsolidasi sosial, ekonomi, politik, dalam koridor konstitusi sekaligus menjalankan kedaulatan rakyat,” ujar AS Martadani Noor.

Sementara itu, Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Metro Lampung Dr. Betha Rahmasari, S.H., M.H menyatakan, KPU menetapkan para hari Rabu, 14 Februari 2024, sebagai pelaksanaan pemilu legislatif. Itu pilihan tanggal yang mengaitkan dengan semangat anak muda (Valentine) dan ini menunjukkan pertimbangan sangat matang dalam memilih waktu pesta demokrasi. “Lalu, apa yang mendasari jadwal pemilu harus ditunda? Apakah ada keadaan darurat? Kalau Indonesia diserang negara tetangga, maknanya negara ini dalam kondisi darurat perang, itu menjadi force major untuk menunda pemilu. Kalau tidak ada alasan kuat itu, pemilu tidak bisa ditunda,” kata  Dr. Betha.

Dia menegaskan, wacana itu sulit direalisasikan jika melihat aturan konstitusi atau UUD 1945. Alasannya, tidak ada satu tafsir manapun dalam UUD 1945 yang mengakomodasi wacana tersebut apalagi perpanjangan masa jabatan presiden.

Menurutnya, para penggagas penundaan pemilu kemungkinan menerapkan tiga strategi. Yaitu, amandemen konstitusi, dekrit presiden, dan revolusi hukum/menciptkan kontruksi ketatanegaraan baru. Tiga jalan tersebut menimbulkan resiko politik, hukum, ekonomi,dan paling parah resiko konflik,” tutupnya.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *