Universitas Negeri Yogyakarta Kukuhkan Sembilan Guru Besar Baru
YOGYAKARTA – Sembilan guru besar dikukuhkan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Performance Hall Fakultas Bahasa dan Seni, Sabtu (3/9/2022). Kesembilan dosen yang mendapat gelar baru tersebut adalah guru besar bidang ilmu Strategi Pembelajaran Bahasa di Sekolah Dasar Program Studi PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan, Prof. Dr. Ali Mustadi, S.Pd, M.Pd., guru besar bidang ilmu Psikologi Perkembangan Fakultas Ilmu Pendidikan Prof. Dra. Yulia Ayriza, M.Si., Ph.D., Psikolog, guru besar bidang ilmu Linguistik Terapan Fakultas Bahasa dan Seni Prof. Dr. Wening Sahayu, M.Pd., guru besar bidang ilmu Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Fakultas MIPA Prof. Dr. Jailani, M.Pd. guru besar bidang ilmu Elektrokimia Fakultas MIPA Prof. Dr. Isana Supiah Yosephine Louise, M.Si..
Kemudian, guru besar bidang ilmu Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Prof. Dr. Sunarso, M.Si., guru besar bidang ilmu Geografi Manusia Fakultas Ilmu Sosial Prof. Dr. Dra. Hastuti, M.Si. guru besar bidang ilmu Rekayasa Material Fakultas Teknik Prof. Dr. Eng. Ir. Didik Nurhadiyanto, S.T., M.T., IPU. dan guru besar bidang ilmu Pendidikan Kepelatihan Atletik Fakultas Ilmu Keolahragaan Prof. Dr. Ria Lumintuarso, M.Si..
Prof Ali Mustadi mengatakan, guru harus kreatif dalam penggunaan media digital untuk menunjang proses pemerolehan kesantunan berbahasa anak di sekolah. Hal ini karena media digital memegang peranan yang cukup penting dalam proses pemberian stimulasi, karena media ini bisa memperlancar pemahaman serta memperkuat ingatan anak.
“Sumber daya digital yang kaya ini perlu digali oleh lingkungan pendidikan untuk mendukung perkembangan bahasa dan kesantunan berbahasa anak. Untuk pendidikan di era digital dan menyiapkan generasi emas, perlu ditandaskan bagaimana bersikap santun dalam penggunaan bahasa pada ragam bahasa lisan yang ditulis saat mengomentari, mendukung, menyatakan keberatan, ketidaksetujuan, dan seterusnya,” jelasnya.
Sedangkan Prof Yulia Ayriza memaparkan Social Emotional Learning (SEL) merupakan kepingan penting dan bermakna yang melengkapi proses pendidikan dalam mengembangkan kekuatan karakter (character strength) di sekolah. Sinergi dari berbagai pihak yang terlibat dalam sekolah menjadi pondasi awal untuk mewujudkan program SEL di sekolah.
“Dalam penerapannya, dibutuhkan adanya guidelines serta framework yang terstandar untuk bisa dijadikan acuan bagi guru, pengelola sekolah, dan praktisi kesehatan mental di sekolah dalam menerapkan dan mengintegrasikan SEL secara efektif pada semua kegiatan di sekolah,” imbuhnya.
Lain lagi dengan Prof Wening Sahayu. Ia menyarankan untuk mengembangkan buku teks bahasa Jerman di Indonesia dengan tema-tema GCE yang direkomendasikan. Yakni, tema yang berkaitan dengan Pendidikan Hak Asasi Manusia, Konflik dan Pembangunan Perdamaian, Menghormati Keanekaragaman, Globalisasi dan Keadilan Sosial, Keberlanjutan-menjaga sumber daya alam.
“Melalui tema-tema tersebut, diharapkan bisa dijadikan sarana mengembangkan pengetahuan siswa tentang GCE. Selain itu, materi buku teks yang demikian diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa sebagai warga global untuk mulai ikut andil dalam meminimalisasi timbulnya persoalan dalam lingkup global,” sarannya.
Menurut Prof, Jailani, kendala atau permasalahan yang dihadapi dalam implementasi kurikulum di Satuan Pendidikan (sekolah) terjadi lebih dari 15 tahun. Yakni, kesulitan melakukan penilaian hasil belajar ranah afektif. Hal ini merupakan tantangan sekaligus ladang kegiatan (amal) dari Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK).
Ia menegaskan, LPTK berpotensi memberikan alternatif solusinya. Bentuk alternatif solusinya, antara lain mengoptimalkan pengelolaan hasil penelitaian tugas akhir.
Adapun Prof Isana Supiah Yosephine Louise memaparkan soal elektroda terner stainless steel/Fe-Co-Ni ternyata, selain memiliki efisiensi relatif lebih tinggi baik dari sisi produk maupun konsumsi energi bila dibandingkan dengan stainless steel, juga andal dalam berbagai lingkungan media, sehingga memungkinkan diaplikasikan dalam pengolahan limbah cair. Terutama dimanfaatkan sebagai sumber hidrogen, salah satu alternatif energi baru terbarukan yang murah dan ramah lingkungan memenuhi prinsip green energy.
“Jika gas hidrogen ditetapkan sebagai bahan bakar, komersialisasinya bisa diperhitungkan secara ekonomis karena kebutuhan energi yang makin meningkat,” katanya.
Prof Sunarso menyatakan, Pendidikan Kewarganegaraan Paradigma Baru bercirikan adanya praktik belajar kewarganegaraan. Yakni, suatu inovasi pembelajaran yang dirancang membantu peserta didik memahami teori kewarganegaraan melalui pengalaman belajar secara kontekstual. Praktik belajar kewarganegaraan ini menjadi kekuatan dan keunggulan dari kewarganegaraan, sehingga diharapkan menjadi mata pelajaran yang menarik dan bermakna.
Praktik belajar kewarganegaraan dilakukan dengan metode pembelajaran berbasis kompetensi. Karena itu, menurut Prof Sunarso, dengan materi yang hanya sedikit sesuai kurikulum berbasis kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan, guru tidak perlu takut untuk kehabisan materi.
Sedangkan Prof Hastuti mengemukakan, pariwisata berkelanjutan menjadi perhatian disiplin geografi sesuai tema interaksi manusia dengan lingkungan, di mana perempuan sebagai komponen antroposfer dalam interaksi dengan lingkungan alam, sosial budaya, karena memiliki peran strategis. Kajian geografi tentang perempuan dalam pariwisata berkelanjutan sebagai objek kajian menarik, sebagaimana bisa ditelusuri kemudahan memperoleh artikel tentang hal tersebut pada jurnal ilmiah. Pariwisata itu sendiri adalah presentasi produk dan konsumsi dari masyarakat dalam konstruksi gender.
Prof Didik Nurhadiyanto menegaskan, untuk memenuhi kebutuhan material karena perkembangan teknologi maju bisa dilakukan dengan merekayasa material dari material yang sudah ada. Rekayasa material bisa melalui beberapa tahapan proses sesuai kebutuhan penggunaan material.
“Rekayasa material bisa melalui kegiatan antara lain pembentukan, pelapisan, perlakuan panas, pengerasan, perubahan dimensi, dan komposit,” katanya.
Adapun Prof Ria Lumintuarso menyebutkan, sistem LTAD (Long Term Athlete Development) memiliki keunggulan yang tinggi dalam mencapai prestasi dan mengamankan atlet dari berbagai efek latihan yang berisiko yang bisa membuat atlet cedera dan over-training yang berakibat pada terhentinya atlet di tengah jalan.(*)