Cagar Budaya Kotagedhe Yogyakarta Bisa Menghidupi Masyarakat Setempat
YOGYAKARTA – Kotagedhe merupakan kota tua di Yogyakarta. Tempat ini memiliki peninggalan cagar budaya yang sangat bernilai tinggi.
Peninggalan sejarah yang ada, bersinggungan dengan serangkaian tradisi besar di Nusantara. Mulai dari Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, hingga Kesultanan Mataram. Karenanya, harus dirawat dan menjadi nilai tambah bagi masyarakat dari segi nilai sosial, ekonomi, dan budaya.
Budayawan asli Kotagedhe, Drs. Achmad Charris Zubair, M.A menyatakan, Kotagedhe dengan keindahan cagar budaya dan kotanya pernah dinobatkan sebagai terindah di Asia oleh Cable News Network (CNN) Internasional.
Kota ini disejajarkan dengan Hoi An (Vietnam), Yufuin (Jepang), George Town (Malaysia), City of Vigan (Filipina), Luang Prabang (Laos), Kampot (Kamboja), Galle (Sri Lanka), Zhouzhuang (China), Mawlynnong, (India), Ghandruk (Nepal), Sai Kung (Hong Kong), dan Phuket Town di Thailand.
Dalam perbincangan dengan host Podcast Kutunggu di Pojok Ngasem Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Puji Qomariyah, S.Sos, pada pekan lalu, Achmad Charris Zubair, M.A memaparkan bahwa dinamika sosial, ekonomi, budaya kontemporer di Kotagedhe dan kota-kota lain di Yogyakarta mendorong perubahan tertentu. Baik dari segi fungsi bangunan maupun perubahan penggunaan cagar budaya.
Menurutnya, perubahan apapun di kota bersejarah tersebut semestinya memperkuat latar belakang sosio-kultural dan ekonomi cagar budaya dan masyarakatnya.
“Cagar budaya terawat secara prinsip, tetapi juga bisa mensejahterakan masyarakatnya. Bagaimanapun juga kawasan cagar budaya itu adalah sesuatu yang menghidupkan masyarakat. Ini menjadi tantangan ketika kita harus melestarikan cagar budaya sekaligus bagaimana cagar budaya menghadirkan nilai ekonomi atau mensejahterakan warganya,” ungkapnya.
Saat ditanya Puji Qomariyah, apa istimewanya Kotagedhe, lagi-lagi Achmad Charris Zubair menegaskan, Kotagedhe sebagai salah satu kawasan cagar budaya di Yogyakarta memiliki sejarah panjang yang dapat dipergunakan untuk pembelajaran. Selain itu Kotagedhe juga memiliki kekhasan yang tidak dimiliki daerah lain.
Mantan dosen Filsafat UGM ini melanjutkan, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 186 Tahun 2011, Kotagedhe merupakan salah satu dari enam kawasan cagar budaya disamping Keraton, Malioboro, Pakualaman, Kotabaru, dan Imogiri. Khusus Kotagedhe terdapat beberapa keunikan.
“Tata ruang kota sangat unik karena merupakan bekas ibu kota kerajaan Mataram yang masih dapat dilacak walaupun sudah ditimbun oleh dinamisnya pergantian zaman. Kemudian kota ini memiliki keunikan arsitektur bangunan kuno karena di kawasan ini terdapat gaya arsitektur mulai dari hindu, jawa, jawa-islam, sampai dengan gaya indische-eropa,” jelasnya.
Selanjutnya Kotagede juga memiliki potensi keunikan atas makanan dan kerajinan yang merupakan kemahiran masyarakat setempat.
“Kotagede tempat lahir maupun besar dari beberapa tokoh gerakan sosial mulai dari tingkatan lokal sampai nasional. Beberapa di antaranya adalah pahlawan nasional seperti Sulatn Agung dan Abdul Kahar Mudzakkir. Ada juga Menteri Agama RI pertama Prof. Dr. H. Mohammad Rasjidi,” ungkapnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut tentang konsep pembangunan Kotagedhe sebagai Ibu Kota Kerajaan. Konsep yang digunakan adalah filosofi catur gatra yang terdiri dari kraton, alun-alun, masjid, dan pasar. Secara simbolik kraton merupakan pusat pemerintahan, alun alun merupakan pusat ruang publik masjid merupakan pusat spiritual, dan pasar yang merupakan pusat ekonomi. Konsep ini merupakan pemilahan wilayah agar dapat terintegrasi menjadi satu.
Lalu, ketika ditanya, apakah seluruh kawasan cagar budaya Kotagede bisa direvitalisasi total? Charris menyatakan, “Apakah itu memungkinkan? Saya pikir itu tidak mungkin.”
Pembicaraan Achmad Charris Zubair dan Puji Qomariyah di Podcast Kutunggu di Pojok Ngasem, dengan topik, “Alun-alun Kotagedhe, dimana? juga sudah tayang di Youtube mulai Rabu (10/8/2022). (*)