Pakar UWM Soal Larangan Ekspor Migor: Indonesia Kehilangan Devis Rp 43 Triliun Per Bulan

0

Kandidat Ph.D. University of Kuala Lumpur Antonius Satria Hadi, S.E., M.Sc.

YOGYAKARTA – Keputusan pemerintah melarang ekspor minyak goreng (migor) berdampak terhadap keuangan di dalam negeri dan mengacaukan pasokan minyak di pasar dunia. Apabila keputusan itu dilaksanakan secara serius, Indonesia kehilangan devisa sebesar Rp 143 triliun per bulan. Sementara sejumlah negara kekurangan pasokan minyak tersebut yang menyebabkan efek domino kenaikan harga sejumlah kebutuhan dunia, dan akhirnya berdampak pada inflasi global.

Kandidat Ph.D. University of Kuala Lumpur Antonius Satria Hadi, S.E., M.Sc. menyatakan, keputusan pemerintah Indonesia menimbulkan dilema di dalam dan di luar negeri atau di negara-negara dunia.

Dosen Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta menyatakan, harga minyak dalam negeri diperkirakan segera turun menuju normal seperti harga lama. Kondisi demikian bisa mengurangi laju inflasi yang tengah meningkat. Seperti hasil studi sensitivitas oleh BRI Danareksa Sekuritas menunjukkan, setiap penurunan 1% harga minyak goreng akan menyebabkan penurunan inflasi sebesar 0.15%.

Di balik dampak positif, terdapat dilema bagi keuangan Indonesia.

“Indonesia akan kehilangan devisa melalui pelarangan ekspor minyak CPO pada kisaran Rp 43 triliun jika selama satu bulan penuh tidak ada kegiatan ekpor. Dampak berikutnya, stabilitas rupiah akan terganggu karena kehilangan 12% dari total ekspor nonmigas,” katanya, Jumat (29/4/2022).

Apabila pemberhentikan ekspor minyak itu dalam waktu lama, pasar migor dalam negeri  kemungkinan over supply.

“Menurut data BPS, Indonesia hanya mengunakan 10% dari total produksi setiap bulannya. Sehingga jika tidak diekspor maka akan muncul masalah baru di mana ketersediaan minyak goreng menjadi sangat melimpah,” ujar dia.

Bagi para petani sawit dan pengusaha, pelarangan ekspor itu menimbulkan masalah penyimpanan. Selama ini para petani sawit dan pengusaha CPO tidak memiliki storage atau alat penyimpanan hasil produksi minyak mentah yang memungkinkan minyak bisa bertahan dalam jangka waktu lama.

Pada tataran global, menurut Satria, sejumlah negara diprediksi melakukan protes, antara lan India, Cina, dan Pakistan. Tanpa pasokan minyak dari Indonesia, mereka berkurang stok minyak di pasar, dan situasi ini bisa mendorong mereka menaikan harga minyak di negara mereka.

“India dengan pasokan minyak yang menurun, maka diprediksi harga kebutuhan seperti sabun, kue, mie, hingga shampo akan mengalami kenaikan hingga 10%,” lanjutnya.

Soal kemampuan Malaysia menambah ekspor minyak ke negara-negara dunia, menurut dia, negeri Jiran itu tidak mampu mengisi slot kosong yang ditinggalkan Indonesia. Ditambah lagi dengan  konflik antara Rusia dan Ukraina, pasokan mnyak mereka ke negara lain terhambat. Situasi terakhir ini memicu inflasi pada level global.

“Dengan dampak yang begitu luas ini, ada baiknya pemerintah mengkaji kembali kebijakan pelarangan ekspor demi kepentingan bersama,” ujar dia.

Seperti disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (22/04/2022), Indonesia tidak ekspor minyak sawit mentah crude palm oil (CPO) mulai  tanggal 28 April 2022.

“Saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022,” tegas Presiden Joko Widodo usai rapat tersebut.

Alasan yang mendasari keputusan ini adalah untuk menjaga ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Larangan ekspor minyak sawit itu untuk menstabilkan harga dan menambah stok dalam negeri. Hal demikian dipicu oleh kelangkaan minyak goreng di pasar dan harga minyak kemasan mencapai Rp. 28.000 per liter. Kebijakan ini sempat mendapat respons Ombudsman RI, yang menganggap kebijakan ini kurang tepat karena Indonesia tidak sedang mengalami keadaan perang dagang minyak sawit tersebut.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *