Solusi Selamatkan Garuda, Dari Restrukturisasi Aset Hingga Jual Brand
JAKARTA – Masalah kerugian serta utang bernilai triliunan rupiah yang membelit PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk hingga kini masih belum jelas mekanisme penyelesaiannya. Terpuruknya flag carrier Indonesia ini membuat sejumlah kalangan terpanggil memberikan saran untuk memulihkan kondisi Garuda.
Salah satunya penyelesaian kewajiban melalui skema restrukturisasi asset-aset yang dimiliki Garuda. Menurut Kiswoyo Adi Joe, Head of Investment PT Reswara Gian Investa, skema penyelesaian utang Garuda dapat melalui restrukturisasi aset. Seperti diketahui, saat ini, Garuda memiliki 89% saham di anak perusahaan jasa perawatan pesawat, yakni PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI) dengan aset ditaksir mencapai Rp 7,1 triliun. Selain itu, Garuda juga punya anak usaha maskapai penerbangan di segmen low cost carrier, yakni Citilink.
Kiswoyo menyarankan, Garuda bisa melepas seluruh sahamnya di GMFI dan Citilink untuk membayar utang-utangnya. Tinggal mencari investor yang berminat membeli sejumlah asset tersebut. Hasil penjualan GMFI bisa digunakan untuk pembayaran utang. Bisa juga, ujar Kiswoyo, Garuda melepas kepemilikan GMFI dan Citilink secara langsung kepada kreditor, terutama yang berasal dari dalam negeri.
“Dengan kata lain, Garuda membayar utangnya dengan aset yang dimiliki. Cara ini dinilai akan lebih cepat dalam menyelesaikan persoalan Garuda,” ucap Kiswoyo, Selasa (09/11/2021).
Sebagai contoh, GMFI dan Citilink bisa dilepas kepada kreditor dalam negeri seperti Pertamina atau bank-bank BUMN yang memiliki piutang kepada Garuda. Nantinya, aset dari Garuda itu bisa dimiliki bersama oleh sejumlah perusahaan BUMN yang menjadi kreditor Garuda. Kepemilikan bersama ini bisa diwujudkan dalam bentuk pembagian porsi saham.
Selain aset, manajemen Garuda Indonesia juga bisa melunasi kewajibannya dengan menjual merek atau brand Garuda Indonesia. Merek ‘Garuda Indonesia’ yang sangat identik dengan Negara Indonesia, layanan awak kabin yang baik, tingkat loyalitas pengguna serta on time performance yang tinggi, sudah dikenal luas hingga ke luar negeri. Hal itu membuat merek Garuda Indonesia memiliki intangible value yang sangat tinggi. Opsi penjualan brand ini, menurut Kiswoyo pernah terjadi pada saat merek Taro yang diakuisisi TPS Food milik PT Tiga Pilar Sejahtera dari PT Unilever Indonesia Tbk pada Agustus 2011.
“Semisal merek Garuda dijual ke Pertamina, maka BUMN migas ini bisa menggunakan brand Garuda untuk mengganti nama maskapai Pelita Air Service. Dengan begitu, Indonesia akan tetap memiliki maskapai flag carrier bernama Garuda. Jadi itu terjadi, maka PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tinggal menyisakan perusahaan saja,” beber Kiswoyo.
Lantas, bagaimana dengan penyelesaian utang-utang Garuda kepada lessor di luar negeri? Menurut Kiswoyo, utang itu tetap menjadi kewajiban PT Garuda Indonesia Tbk, bukan di carry over oleh Pertamina maupun BUMN lainnya, yang mengakuisisi brand Garuda Indonesia. “Seluruh armada pesawat yang saat ini dipakai, tinggal dikembalikan saja ke Lessor. Toh, sewa armada itu diduga dilakukan dengan nilai mark up dan sarat korupsi,” tegas Kiswoyo.
Pendapat senada diutarakan Michael H. Hadylaya, Akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi. Menurut dia, skema penyelesaian kewajiban Garuda Indonesia dengan menjual brand/merek ke pihak lain, menjadi salah satu opsi yang memungkinkan. Dalam opininya di sejumlah media, Michael menjelaskan, jika Garuda dianggap sebagai sebuah merek/brand, maka bisa saja Garuda dari perspektif korporasi untuk pailit.
Dengan cara ini, negara tidak perlu melakukan bailout dan membiarkan Garuda Indonesia secara ksatria menempuh pranata yang disediakan hukum untuk menyelesaikan persoalannya, termasuk kepailitan bila diperlukan. Nantinya, Garuda sebagai sebuah brand dapat dijual kepada korporasi yang lebih sehat yang dikendalikan pemerintah.
Dengan begitu, persoalan Garuda sebagai sebuah korporasi dapat selesai, tetapi sebagai sebuah brand yang menjadi kebanggaan nasional bisa tetap eksis. Uang yang didapat dari penjualan brand dapat digunakan untuk membayar kreditor. Sebuah win-win solution. Strategi kuncinya adalah dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dilihat sebagai akal-akalan.
“Pemerintah tinggal memastikan bahwa perusahaan baru itu kelak benar-benar dikelola secara proper, sehingga tidak mengulangi kesalahan masa silam. Perusahaan baru ini harus mampu mengelola conflict of interest secara baik dan menjaga kinerja agar menghasilkan keuntungan,” tutur Michael.
Apapun skema penyelamatan Garuda yang diputuskan Kementrian BUMN, membutuhkan komitmen dan dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah. Sebab, penyelesaian masalah yang membelit Garuda tidak mudah dan memiliki konsekuensi baik terhadap keuangan negara maupun reputasi Indonesia di mata investor global.(*)