Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta Nilai Dinamika Demokrasi Indonesia Aneh

Seminar “Budaya Partisatif Kampus dalam Melawan Regredasi Demokrasi,” diadakan Fisipol UWM Yogyakarta.
YOGYAKARTA – Dinamika demokrasi di Indonesia cenderung aneh karena indek demokrasinya naik tetapi kontrol korupsi, dan berbagai penyimpangan menurun. Kemudian, terjadi politisasi hukum untuk kepentingan segelintir orang. Ini menandakan terjadinya regresi demokrasi.
“Government index Indonesia, demokrasi kita hanya meningkat, anehnya yang lain. Seperti kontrol korupsi, dan penyimpangan lainnya menurun. Negara-negara lainnya, demokrasinya meningkat, government-nya meningkat. Apakah ini menunjukkan demokrasi kita hanya formalistik, procedural saja?,” kata Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Prof. Edy Suandi Hamid.
Hal tersebut disampaikan saat pembukaan seminar tentang “Budaya Partisatif Kampus dalam Melawan Regredasi Demokrasi,” yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UWM Yogyakarta, baru-baru ini.
Menurut Edy Suandi, demokrasi prosedural bisa dilihat dari praktik-praktik destruksi politik. Para pemilih didaftar, dan para aktor maupun pengawas membiarkan pemilihan umum yang transaksional.
“Bagaimana orang orang memilih calon presiden, atau calon anggota parlemen, hak suaranya bisa ditukar dengan paket sembako,” ungkapnya.
Kemudian, terjadi juga demokrasi “dibunuh”oleh demokrasi itu sendiri. Terdapat segelintir orang ingin menjadi presiden atau kepala daerah, maka Mahkamah Konstitusi (MK) “diminta” untuk mengubah pasal-pasal dalam undang-undang yang terkait pemilihan umum.
“Namanya demokrasi membunuh demokrasi, dengan menyalahgunakan atau mengubah undang-undang. Bayangkan demokrasi dirusak untuk seorang ingin yang menjadi presiden, ingin menjadi kepala daerah,” kritik Edy Suandi.
Kepada para mahasiswa Fisipol UMW Yogyakarta, Edy Suandi mengingatkan agar responsif dan aktif merespons dengan kondisi lingkungan dan perubahan sosial yang terjadi.
“Mahasiswa itu jangan belajar saja. Silakan peduli pada lingkungan, apalagi persoalan berkaitan bangsa,” imbuhnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) Dr. Sulhan menyatakan, regresi demokrasi yang tengah terjadi di Indonesia, penyebab utamanya disinformasi di media sosial.
Disinformasi yang paling dahsyat dilakukan melalui media sosial oleh para buzzer dan sebagian influencer. Pilihan media sosial didasari pertimbangan, penyebarannya masif dan tidak terkontrol. Karakter media sosial yang berbasis internet mampu menembus batas.
“Dalam media sosial tidak ada atau minimalis kontrol pemerintah oleh warga. Tidak ada kontrol atau bebas dalam ‘ruang’ kumpul, berserikat secara maya secara bebas. Karena lemah kontrol, maka regulasi apapun kehilangan esensi penegaknya,” jelas dosen Ilmu Komunikasi UGM tersebut.
Sedangkan Dekan Fisipol UWM Yogyakarta Dr. As Martadani menyatakan, Indonesia Tengah mengalami kemunduran dalam praktik-praktik demokrasi. “Komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi hilang. Seperti kebebasan, kesetaraan, dan akuntabilitas. Sementara negara mengalami pergeseran ke arah otoritarianis,” ujar As Martadani.
Indikasi lain, lanjut As Martadani, terjadinya regresi demokrasi terjadinya penurunan kualitas institusi demokrasi dan penegakan hukum. “Meningkatnya ketegangan dan konflik di masyarakat, partisipasi masyarakat menurun meskipun terjadi budaya dan politik populisme,” tegasnya.
Sementara, Dosen Fisipol Universitas Hasanudin Haryanto MA mengatakan, penurunan demokrasi harus disikapi oleh kalangan muda untuk peduli lingkungan dengan terlibat dalam praktik-praktik kearifan lokal yang bisa membangkitkan demokrasi seperti gotong royong dan kegiatan sosial yang melibatkan warga secara massal.
“Yang sangat penting mahasiswa perlu merebut ruang publik lewat aksi demonstrasi, pengerahan massa. Atau kita aktif melecut kesadaran masyarakat untuk peduli dengan persoalan sosial,” pungkas Haryanto. (*)