Indikator Kemiskinan Internasional Bertolak Belakang dengan Yogyakarta

0

Universitas Widya Mataram Yogyakarta menggelar seminar nasional.

YOGYAKARTA – Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selalu berstatus kemiskinannya di atas rata-rata nasional. Kondisi ini kontras dengan indek kebahagian dan kebahagian warga yang sangat fantastis.

Perencana di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BPPD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) M. Taufiq AR SIP MPA menyatakan, indikator-indikator kemiskinan itu mengacu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs/Sustainable Development Goals). Konsep dan indikator kemiskinan dan 16 problem program pembangunan lainnya digagas dan dilaksanakan 190 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2015. Namun, semua itu cenderung tidak cocok dengan kondisi dan tradisi masyarakat daerah ini.

Menurut Taufiq, warga pedesaan di Yogyakarta merasa tidak miskin saat mereka mencukupi kebutuhan sehari-hari dari hasil berkebun seperti sayur dari sawah/kebun, telur dari ternak ayam sendiri, beras panen dari sawah.

“Warga di desa-desa merasa cukup, apabila mereka bisa makan dari bahan-baku yang dihasilkan sendiri. Kategori cukup bagi mereka tidak miskin, tetapi itu bagi pemerintah maupun PBB dikategorikan miskin. Moralitas menerima keadaan tidak masuk (nrimo ing pandum) dalam indikator antikemiskinan formal,” papar Taufiq saat mengisi Seminar Nasional Kebudayaan dalam Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Kamis (5/10/2023).

Seminar tersebut diadakan sebagai rangkaian kegiatan Dies Natalis ke-41 UWM Yogyakarta. Acara dibuka Rektor UWM Yogyakarta Prof Dr Edy Suandi Hamid dan seminar dipandu salah satu dosen Program Studi (Prodi) Sosiologi Fisipol UWM Yogyakarta.

Ditambahkan Taufiq, kenyataannya sikap warga tersebut bersesuaian dengan indek kebahagiaan. Badan Statistik Nasional menunjukkan angka kebahagiaan DIY mencapai 71,70. Artinya, berada di atas nasional (71,49) pada 2021.

Kemudian, lanjut Taufiq, indek harapan hidup pada level 75,04 tahun, ini juga peringkat tertinggi secara nasional dengan rata-rata 71,91

Problemnya angka kemiskinan DIY, misalnya rata-rata rumah tangga miskin pada Maret 2023 mencapai 4,32 orang anggota rumah tangga. Garis kemiskinan mencapai Rp2.475.455,-/rumah tangga/bulan. Sedang rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang, garis kemiskinannya sebesar Rp 2.592.657,-/rumah tangga miskin/bulan.

“Munculnya angka-angka kemiskinan itu, menempatkan warga Yogyakarta tertinggi angka kemiskinanya di Jawa,” tukasnya.

Taufiq menyatakan, konsep pembangunan berkelanjutan yang digagas PBB memiliki kelemahan. Dalam mengatasi berbagai masalah di negara-negara anggota PBB, konsep pembangunan berkelanjutan itu memiliki sejumlah kelemahan.

“Konsep pembangunan dunia itu tidak mengatasi akar masalah, hanya dampak dari masalah termasuk dalam persoalan kemiskinan. Maka sifat universalitasnya yang tidak memadai. Buktinya, model pembangunan berkelanjutan tidak bisa menjadi strategi mengatasi ketidaksetaraan,” tegasnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISOPOL) Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Dr. As Martadani Noor menyatakan, respons masyarakat Yogyakarta sangat positif terhadap program-program pembangunan berkelanjutan. Makin tinggi tingkat pendidikannya, warga makin memahami dan merespons positif pembangunan berkelanjutan.

“Masyarakat Yogyakarta memiliki pandangan yang progresif terhadap pembangunan berkelanjutan, dan berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan budaya di daerahnya,” ujarnya.

Menurutnya, masyarakat aktif dalam melakukan aksi-aksi penghijauan, kampanye pengurangan penggunaan plastik, dan pengelolaan sampah yang baik. “Tantangannya, masalah kebijakan dan regulasi dari pemerintah yang kurang jelas, menjadi hambatan dalam mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah ini,” kritiknya.

Sedangkan Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi, Sosial, dan Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Dr. Masduki, MSi menyatakan, problem-problem dampak pembangunan berkelanjutan idealnya bisa diurai dan dijembatani oleh digitalisasi teknologi informasi pembangunan.

“Harapan itu bertepuk sebelah tangan karena platform-platform digital di Indonesia cenderung miskin informasi dan tak berbudaya.

Pemiliknya segelintir kapitalis nasional dan internasional. Mereka tidak hanya memproduksi informasi melalui media online dan media sosial, juga menggembangkan berbagai platform, seperti platform bisnis dan mengelola perdagangan online di dalamya,” ungkapnya.

Ditambahkan, para pemodal tersebut berpikir soal bisnis dan akumulasi modal. Sebaliknya, mereka tidak peduli atau tidak bertanggungjawab terhadap problem-problem efek digitalisasi platform. “Mereka mengoperasikan platform informasi maupun bisnis serta media di dalamnya mengacu pada selera pasar dan bisnis, bukan mengantisipasi bagaimana dampak sosial dari platform yang mereka kelola,” pungkasnya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *