Atasi Kejahatan Jalanan Remaja dengan Pendekatan Adaptasi Model Pentaholix
YOGYAKARTA –Magister Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bersama Komunitas Psycho Education Centre (PEC) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dan mengambil tema Mencari Formula Mengatasi Problematika Kenakalan Remaja. Kegiatan tersebut digelar pada Rabu (02/03/2022), di di Kampus 2B UAD Jalan Pramuka, Umbulharjo, Yogyakarta. Pilihan tema tersebut sangat tepat, mengingat angka kenakalan remaja di Yogyakarta masih tinggi. Jenis kenakalan remaja beragam, termasuk kejahatan klitih yang masih saja marak terjadi.
Kegiatan FGD dibuka Dekan Fakultas Psikologi UAD Dra Elli Nur Hayati MPH PhD, Psikolog mengatakan, tujuan FGD untuk menghasilkan sebuah formula, rekomendasi yang nantinya bisa diterapkan dalam pencegahan dan penanganan fenomena kenakalan remaja.
“Digelarnya FGD juga untuk menjalin kerja sama dan bersinergi dengan instansi pemerintah dan swasta dalam mengatasi kenakalan anak remaja,” ungkap Elli.
FGD sendiri dihadiri perwakilan dari Polda DIY, Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) Yogyakarta, KPAI Kota Yogyakarta, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Pemda DIY, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Asosiasi Psikologi Forensik Pusat, Dinas Pendidikan Kota Yogya, Sleman, dan Bantul, Dinas P3A, PA dan KB Pemkot Yogya, Dinas P3A, PA dan KB Pemkab Sleman dan masih banyak lagi.
Kasubdit Bhabinkamtibmas Dit Binmas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta AKBP Sinungwati SH. M.IP ikut memantik diskusi tersebut. Ia menyebut, pada 2017 kejadian kejahatan remaja di wilayah hukum Polda DIY sebanyak 51 kasus, di mana pelakukanya berusia antara 14 hingga 18 tahun. Setelah itu, tahun 2018 turun menjadi 45 kasus, 2019, 44 kasus, 2020, 6 kasus, dan 2021 naik lagi menjadi 47 kasus.
Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Psikologi UAD Dr Nina Zulida Situmorang MSi memaparkan hasil diskusi FGD, di mana terungkap ada sejumlah faktor yang muncul dalam kejahatan jalanan remaja. Yakni, faktor keluarga, faktor sekolah, serta faktor lingkungan masyarakat dan media sosial. Menurutnya, faktor keluarga meliputi pola asuh orang tua, saudara terdekat, dan orang sekitarnya yang kurang memberikan perhatian, kurangnya figure ayah dalam keluarga. “Termasuk minimnya pengawasan anak ketika berada di luar rumah dan di luar sekolah terutama pada malam hari,” paparnya.
Untuk faktor sekolah, lanjut Nina, yaitu adanya doktrin oleh alumni atau senior di sekolah terhadap siswa di bawah angkatannya. Alumni atau senior memberikan support terhadap yunior untuk berperilaku negatif seperti membolos dan minum-minuman keras.
Selanjutnya, faktor lingkungan masyarakat yaitu labelisasi yang muncul di tengah masyarakat terhadap anak yang sudah melakukan rehabilitasi, sehingga membuat anak tidak merasa nyaman dan merasa dikucilkan di tengah masyarakat. Ada pula karena anak salah dalam memilih teman pergaulan.
Terakhir, faktor media sosial. Ini menjadi sumber informasi mendukung munculnya perilaku negative/agresif untuk menunjukkan eksistensi mereka melalui media sosial.
“Saat keluarga tidak mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak, anak mencari eksistensi di luar rumah dan di luar sekolah. Di tambah lagi, minimnya sarana umum untuk olah raga dan ketidakaktifan organisasi kepemudaan, membuat remaja menjadi mengaktualisasikan energinya ke hal-hal yang negative yang kemudian menjadi ajang promosi/kekuatan mereka untuk bisa disebarkan dalam media sosial,” tegasnya.
Dari pertemuan tersebut bisa disimpulkan bahwa berbagai faktor tersebut selanjutnya muncul rekomendasi atau solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi problematikan kejahatan remaja. Yakni, pendekatan adaptasi model pentaholix atau kolaboratif yang melibatkan berbagai instansi dan stake holder. Mulai dari keluarga, masyarakat, sekolah atau akademisi, pemerintah, dan media.
“Juga merekomendasikan untuk menghindari diksi klitih dengan istilah kejahatan jalanan,” pungkasnya.(*)