Usulan Moratorium Unitlink Bisa Dianggap Melanggar Peraturan
JAKARTA – Usulan Komisi XI DPR-RI terkait moratorium produk unitlink, terus menuai sorotan publik. Tak terkecuali dari kalangan praktisi hukum. Seperti yang diungkapkan Grace Bintang Hidayanti Sihotang, Managing Partner dari kantor pengacara HSPLaw.
Grace, yang juga pengajar tindak pidana ekonomi di Universitas Terbuka berpendapat, usulan Komisi XI DPR terkait moratorium unitlink sangat tidak dimungkinkan. Alasannya, perjanjian asuransi dalam produk unitlink merupakan perjanjian perdata dan bukan dalam ranah hukum publik.
Grace menilai, dalam perjanjian perdata berlaku pacta sunt servanda (perjanjian harus ditepati). Perjanjian berfungsi sebagai undang-undang (UU) bagi pihak-pihak yang berjanji. Jadi, lanjut Grace, jika pemerintah, regulator atau pembuat kebijakan melakukan moratorium terhadap hal yang diatur dalam perjanjian keperdataan, secara tidak langsung sudah melanggar ketentuan.
Hal ini terutama ketentuan nomor 2 dari persyaratan sebuah diskresi, yaitu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sebab, perjanjian adalah hukum bagi pihak yang berjanji (Pacta Sunt Servanda). Hal ini dinilai akan berpotensi tidak baik terhadap asas kepastian hukum.
Bisa saja, menurut Grace, kelak semua perjanjian jika orang mau membatalkan, akan langsung dimintakan moratoriumnya dan itu akan mengakibatkan kekacauan dalam negara.
“Jika satu hal sembarangan dibuatkan moratoriumnya tanpa kehati hatian dan kecermatan sesuai AUPB, tidak ada kepastian hukum,” kata Grace, Kamis (09/12/2021).
Grace menegaskan, dalam istilah perdata pembatalan perjanjian merupakan wanprestasi. Jika moratorium unitlink dilegalkan pemerintah, berarti pemerintah secara tidak langsung melegalkan sebagian kecil masyarakat yang ingin melakukan wanprestasi tanpa alasan yang belum jelas.
Selain itu, kebijakan moratorium yang sembarangan akan membuat dunia usaha menjadi tidak kondusif.
“Pelaku usaha ragu untuk berusaha, karena bisa sewaktu waktu tanpa alasan yang jelas atau dengan alasan kepentingan wong cilik, kebijakan moratorium dikeluarkan,” imbuh Grace.
Alasan lainnya, lanjut dia, moratorium unitlink berpotensi mengakibatkan terjadinya konflik kepentingan. Mengapa? Jika produk ini dilarang dan dihentikan pemasarannya, lalu bagaimanakah nasib pemegang polis lain yang sebagian besar masih percaya pada produk asuransi tersebut?
Sebelumnya, pada paparan secara virtual pada Kamis (9/12), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) juga menanggapi usulan Komisi XI DPR-RI terkait moratorium produk unitlink. Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon menegaskan, pihaknya siap melakukan diskusi dengan industri asuransi maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengkaji ualng penjualan produk unitlink.
Budi tidak menampik, masih maraknya keluhan pemegang polis soal pelanggaran etika dan misselling dari para agen asuransi.
“Kalau memang ada kesalahan dari perusahaan asuransi, akan diperbaiki perusahaan asuransi. Selama ini perusahaan asuransi jiwa memperhatikan betul ketentuan-ketentuan yang ada terkait produk unitlink,” tegas Budi.
Ia mencontohkan, salah satu ketentuan yang diperhatikan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk unitlink adalah lisensi keagenan dan proses penjualan dari produk unitlink. Budi bilang, para agen asuransi telah berupaya dengan baik menjelaskan karakteristik produk dan risiko-risiko yang bisa dialami calon nasabah.
Menurut Budi, untuk memasarkan produk unit-link, agen harus memiliki sertifikasi level tertinggi yang dikeluarkan oleh AAJI.
“Jadi, kami percaya bahwa pada saat proses jualan, agen asuransi jiwa sudah memberikan penjelasan mereka yang terbaik kepada nasabah terkait karakteristik produk unitlink,” katanya.(*)