Grace Sihotang Protes Keras, Suaranya Diperdengarkan Tanpa Izin saat RDP di DPR RI
JAKARTA – Sejumlah nasabah asuransi jiwa yang mengaku korban produk unitlink, Selasa (07/12/2021) menyambangi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Maria Trihartati, selaku koordinator nasabah Asuransi Unitlink Indonesia menyatakan, dia beserta rombongan bermaksud menyerahkan sejumlah berkas laporan yang dibutuhkan kepolisian untuk mengusut adanya dugaan tindak kesalahan penjualan/misselling, yang dilakukan tenaga pemasar sejumlah perusahaan asuransi.
“Kami datang untuk memenuhi panggilan Bareskrim yang meminta kami memberikan keterangan dan bukti terkait permasalahan yang sedang kami alami,” kata Maria.
Sebelumnya, Maria cs telah menyambangi Gedung DPR pada Senin (06/12/2021). Mereka diundang mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI dengan Otoritas Jasa Keuangan. Dalam rapat tersebut, nasabah asuransi menyatakan bahwa mereka merasa dibohongi oleh agen penjual asuransi. Mereka meminta agar DPR dan OJK membantu menyelesaikan permasalahan yang dialami, serta mengusulkan agar produk unitlink dihapus.
Namun, di balik upaya yang dilakukan para nasabah asuransi tersebut, ada sejumlah fakta berbeda. Hal itu terungkap setelah mantan kuasa hukum para nasabah asuransi, Grace Bintang Hidayanti Sihotang, menyatakan bahwa tidak seluruhnya laporan yang disampaikan nasabah pada RDP tersebut benar. Bahkan, saat menjadi kuasa hukum para nasabah tersebut, Grace melihat sebagian nasabah justru beritikad tidak baik terhadap perusahaan asuransi, termasuk Maria selaku koordinator nasabah.
Dalam surat terbukanya yang ditujukan kepada Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto dan dimuat oleh platform Kompasiana, Grace menyatakan bahwa saat masih menjadi kuasa hukum para nasabah, dia menyarankan agar nasabah yang menjadi kliennya mendahulukan proses negosiasi dan mediasi dengan pihak asuransi. Hal itu berdasarkan ketentuan SE OJK No 2/ POJK 07/ 2014 tentang Pelayanan dan Pengaduan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SE OJK No 61/ POJK 07/ 2020 tentang Lembaga Alternative Penyelesaian Sengketa.
“Aturan ini untuk mendukung konsep Restorative Justice, maka saya mendahulukan melakukan hal ini. Karena hukum tidak melulu tentang masalah konfrontasi, kekerasan dan proses pengadilan, tapi konsep penyelesaian hukum yang paling baik adalah tercapainya perdamaian,” ujar pengacara dari kantor hukum HSP Law tersebut, Rabu (08/12/2021).
Langkah negosiasi dan mediasi tersebut diusulkan Grace, lantaran para nasabah yang menjadi kliennya tidak mau mengeluarkan dana sebagai biaya untuk proses sidang di pengadilan. Usulan tersebut juga sudah sesuai hasil pertemuan dengan OJK yang menyarankan adanya upaya damai terlebih dahulu, dan bahkan proses di LAPS pun harus melalui proses Internal Dispute Resolution yang diatur dalam SE OJK No 2/ POJK 07/ 2014 tersebut.
Namun sebagian nasabah tidak bersedia menempuh upaya mediasi tersebut. Bahkan, oleh Maria dan suami serta sejumlah nasabah lainnya, Grace malah didesak untuk mengirim surat somasi dan segera menempuh langkah hukum terhadap ketiga perusahaan asuransi: AIA, AXA Mandiri dan Prudential.
Lebih dari itu, Grace mendapati, para nasabah tersebut lebih memilih menggunakan cara konfrontatif, kekerasan dan demonstrasi.
Grace yang juga berprofesi sebagai dosen mata kuliah Tindak Pidana Ekonomi di sebuah kampus tersebut, menegaskan bahwa rata-rata nasabah tidak memiliki bukti, bahkan sebagian nasabah sudah menutup polis asuransinya jauh sebelum adanya model penjualan secara bancassurance di Indonesia. Dikarenakan nasabah tidak mau mengeluarkan biaya untuk menempuh langkah hukum dan tidak adanya bukti-bukti hukum kuat, akhirnya sebagian nasabah sepakat untuk menempuh upaya negosiasi, dan masalahnya telah selesai dengan baik.
Menurut Grace, setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata sebagian nasabah tersebut banyak yang berbohong dan menipu. Banyak hal-hal ganjil yang musti diteliti dari tindakan nasabah. Diantaranya seperti, banyak polis nasabah yang sudah dibuat sebelum produk bancassurance ada. Bahkan ada yang sampai membuat surat keterangan kidal dari Rumah Sakit demi agar uangnya dikembalikan. Selain itu ada nasabah yang mengaku data dan tandatangannya dipalsukan, namun setelah diselidiki, ternyata yang bersangkutan memiliki dua KTP berbeda.
Di sisi lain, Grace melihat bahwa munculnya masalah penjualan asuransi ini sebagian besar bersumber dari agen penjual. Agen menyebarkan ilustrasi tidak resmi dari perusahaan. Anehnya, para nasabah tersebut menuntut agar perusahaan bertanggungjawab terhadap kesalahan agen. Padahal perjanjian keagenan adalah perjanjian lastgeving (KUHPerdata), yaitu sama dengan pemberian kuasa. Dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, tindak pidana yang dilakukan oleh agen penjual tidak menjadi tanggungjawab perusahaan.
Grace juga memprotes keras karena rekaman suaranya dipakai oleh seorang nasabah untuk diperdengarkan pada Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR tanpa seizin dirinya. Terkait hal tersebut, dia akan mencadangkan langkah hukum kepada pelakunya.
Selain itu, Grace meminta DPR dan instansi penegak hukum, bersikap adil dengan mendengarkan penjelasan pihak asuransi terutama asuransi yang telah beritikad baik agar informasinya seimbang
“Saya bersedia dipanggil DPR dan Kepolisian untuk menjadi saksi, karena saya punya bukti, banyak diantara para nasabah itu menipu demi uangnya Kembali. Saya tegaskan, saya tidak pernah diberi apapun atau disuruh pihak asuransi manapun untuk mengklarifikasi hal ini. Karena, saya melakukan ini atas kemauan dan kesadaran saya sendiri, sebagai bentuk tanggung jawab saya selaku praktisi hukum sekaligus akademisi untuk mengungkap kebenaran dan keadilan,” tutup Grace.(*)