Jogja Corruption Watch Minta Presiden Jokowi Buka Suara

Kadiv Humas Jogja Police Watch (JPW) Baharuddin Kamba.
YOGYAKARTA – Polemik di tubuh Komisi Anti Korupsi (KPK) masih saja belum tuntas. Gaung sindiran soal G30S/TWK semakin menguat, termasuk puncaknya Hari Kamis (30/09/2021), di mana merupakan batas terakhir bagi 57 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Kondisi yang memprihatinkan tersebut mendorong pihak Jogja Corruption Watch (JCW) menyuarakan pendapatnya. Menurut JCW, pemecatan terhadap 57 pegawai KPK, termasuk Novel Baswedan merupakan tragedi kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan KPK.
“Bagaimanapun kita semua tahu, Novel Baswedan cs dikenal publik memiliki integritas, berani, dan komitmen yang tinggi dalam pemberantasan korupsi,” ungkap aktivits JCW Baharuddin Kamba, Kamis (30/09/2021).
Ditambahkan Kamba, JCW berharap Presiden Jokowi untuk turun tangan, minimal buka suara ke publik secara langsung atas persoalan nasib ke-57 pegawai tersebut. Karena, semua muaranya pada sikap Presiden Jokowi seperti apa.
“Publik pasti menunggu soal itu. Toh rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menyatakan bahwa KPK, BKN, BIN dan beberapa penyelenggara TWK telah menyimpang dari prosedur yang baik (due process) alias maladministrasi. Sementara itu, Komnas HAM menemukan ada 11 pelanggaran HAM dalam TWK. Dengan Presiden Jokowi turun tangan atas 57 pegawai KPK tersebut, setidaknya memberikan keadilan bagi mereka yang telah bekerja untuk KPK, bukan memulihkan kekisruhan sesaat. Juga bukan membuat hal ini tak berkesudahan,” sindir Kamba yang juga Kadiv Humas Jogja Police Watch (JPW) ini.
Terkait keinginan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk menarik semua pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) menjadi ASN Polri, menurut Kamba, semua itu menimbukan kontradiktif baru.
“Bagaimanapun, dengan hasil tes TWK yang menyatakan 57 pegawai KPK ini ‘merah’ dan tak bisa dibina. Ini akan menimbulkan konflik kepentingan,” katanya.
Kamba menegaskan, selain perlu landasan hukum yang kuat untuk merekrut ke-57 pegawai KPK menjadi ASN Polri, tentunya harus mengikuti setiap proses ujian lazimnya setiap orang yang ingin menjadi ASN Polri.
“Jadi, tidak ujug-ujug. Karen jika itu dilakukan, artinya ke-57 pegawai KPK ini ditarik menjadi ASN Polri tanpa mengikuti proses pada umumnya, akan menimbulkan kecemburan bagi ASN Polri lainnya,” pungkasnya.(*)